Jumat, 29 Oktober 2010

Sekantong Plastik Tomat Segar

Cerpen Zackir el Makmur

Iapun berpamitan. Dan, hampir bersamaan, melangkah pula perempuan itu. Mengiringinya. Ketika sampai di serambi depan, perempuan itu menyampaikan ungkapan manis, “Terima kasih atas pemberian tomat-tomat segar itu.”.
Mendengar itu, ia susutkan langkahnya. Lalu menatap perempuan itu, yang tersenyum padanya. Terima kasih kembali, katanya. Sayangnya, itu ia perkatakan dalam hati. Tapi ia tersenyum. Setelah itu, ia pun berlalu.
Tak ada yang menggembirakan hatinya, selain meninggalkan penjara. Sejak ia dibebaskan dari penjara cipinang setelah m,enjalani hukuman sebilan tahun, hatinya demikian gembira. Dan, ia pun meyakinkan dirinya untuk berubah, tidak seperti dulu lagi. Tidak sudi lagi nongkrong di pangkalan angkot. Tidak pula intim dengan tpoi miring. Serta tidak doyan nimbrung lagi dalam gerombolan koboi-koboi cap gayung yang sering bikin ulah dan gaduh.
Namun, masih saja banyak rekan-rekan sejawat tongkrongannya yang meledeknya. “wah, rupanya dia sudah alim. Tumben, “kata salah seorang rekannya kepada rekan lainnya. “sekarang dia udah inget akherat, “sambung temannya lagi. Dan, semua pun tertawa; tertawa khas preman-preman tengik.
Mula-mula semua itu ia terima sebagai bagian dari romantisme pergaulan. Jadi, ia tetap saja bila bersua dengan mereka bertegur sapa. Biar tetap saling kenal mengenal. Tidak putus hubungan, kendati jalan hidup ia sudah berubah. Karena prinsipnya: janganlah mencapakkan teman-teman, walau pernah dalam satu kubangan keburukan.
Akan tetapi, ledekan dari teman-temannya yang dulu satu tongkrongan di pergaulan begajulan itu seakan tidak pernah putus-putusnya. Malah seperti tidak mengenal situasi dan kondisi. Pernah, sewaktu ia membantu istrinya yang jualan sayur mayur, beberapa temannya yang mengetahui langsung berceloteh, “aih, sejak dari penjara buka supermarket. Kirain tambah gagah jadi jagoan.” Temannya satu lagi menimpali,”Eh, dia ‘kan jagoan yang takut sama bini.”
Dan, banyak lagi ungkapan-ungkapan para kolegahnya yang tak enak di hati. Dari itu ia memutuskan, bahwa sebisanya menghindar jika berpapasan untuk tidak lagi mendengar celoteh-celoteh nyelekit. Sedikit banyak ia tidak mendengar lagi. Terhindar dari kolega-kolega lamanya itu bukan berarti hatinya nyaman. Justru ia dihadapkan pada kenyataan lain lagi, yakni cemoohan dari beberapa tetangganya.
Tidak sampai di situ, malahan tidak sedikit di antara tetangganya mencap ia tetap sebagai bramacorah. Cap yang mengerikan itu tertempel pula pada serangkaian pergunjingan. Sehingga, di antara mereka ada yang amat menyesalkan mengapa ia cepat di bebaskan dari cipinang.
“harusnya dioper saja ke nusakambangan,” bisik salah seorang tetangganya kepada tetangga yang lain. “ia. Biar dia rasain,” sahut yang dibisiki, berbisik. Serta merta pada hari-hari berikutnya bisik-bisik dan pergunjingan semakin semarak.
“aku kira dia dipendem sembilan tahun udah mati berdiri.”
“eh, tak mati beneran juga nggak apa-apa. Cukup tiga per empat mati saja, kan udah bersyukur.”
“lagi nyang begitu masih aja hidup, nyempit-nyempitin dunya.”
Nada-nada sumbang semacam itu bisa diperpanjang lagi bila keadaan tambah meriah. Maka bergunjing bagi tetangga dengan tetangga menjadi perkara yang mengasyikan. Apalagi, ketika semua sepertinya sepakat dalam satu tema; mempergunjingkan tetangga lainnya.
Sungguh. Ia tahu itu. Mau rasanya ia tidak bertengganya, tapi tidak bisa, karena ia bersama istri dan tiga anaknya hidup di tengah sebuah lingklungan yang saling bertetangga. Dengan begini ia bisa tidak bisa harus menerima kenyataan yang ada, walau harus mengalami tekanan batin. Ketika juga ia merasakan istri dan tiga anaknya mendapat tekanan batin, terlebih sewaktu ia di bui, ia pun gelisah.
Kegelisahannya itu kadang kala mengorek naluri kejagoan yang dimilikinya. Namun, ia bisa meredamnya berhubung ia sudah kuat berjanji di hatinya untuk tidak seperti dulu lagi; yang emosional, dan sedikit-sedikit main kemplang.
Meskipun begitu, ia sempat labil juga, ia tak tahan, sehingga dihadapan para tetangganya ia berpekik: “kalian semua tidak harus menilaiku seperti aku yang dulu. Apa-apa bisa berubah. Codot saja yang lebih jelek dan hina dariku saja bisa berubah, apalagi aku yang bernama manusia.”
Keadaan sampai hari-hari berikutnya tidak berubah. Maka ia sepertinya tak tahan membendung luapan naluri kejagoannya, “Hooiii...ayolah berkelahi denganku. Jangan omong di belakang doang. Ayo maju siapa yang berani,” katanya berapi-api. Yang maju justru istrinya. Lupa? ‘kan mas sudah janji berubah,” ucap istrinya lembut.
“Diam kamu!!” Bentaknya begitu saja. “Mereka telah mengucilkan kita.”
“Biar. Itu hak mereka,” Ujar istrinya kalem.
“Hei...semua dengar!!!” ia berpekik sekencang-kencangnya. Orang-orang tambah berkurung di pekarangan rumah masing-masing, tapi mereka tetap pasang kuping. “ Kalian semua jangan berlagak pilon,” katanya bersuara keras,” kalian semua tahu perkara itu, karena kalian semua benci sama si lintah darat. Kematian si Dripur dulu itu hanya kecelakaan saja, sebab aku membela diri, sekalipun karena itu aku harus di bui 9 tahun.”
“Sudah. Sudah. Malu. Tuh lihat, anak-anak merengut,” kata istrinya yang sedari tadi mengelayuti tubuh suaminya agar tak brutal. Apa yang diberitahukan istrinya itu, ia lihat. Anak-ankanya berwajah muram, berdiri di depan pintu pekarangan rumahnya.
Dengan emosi yang menurun, dan hati yang luluh, ia bergegas menghampiri ketiga anaknya yang masih SD. Kemudian diciuminya ketiga anaknya itu seraya berkata,” maafkan, ayah.” Dan tampaklah si jagoan itu mengeluarkan air mata.
“Ayah pasti berubah,” Ucapnya mendesah seakan meyakinkan anak-anaknya dan istrinya yang sudah berdiri di belakangnya.
Maka, pada hari-hari selanjutnya ia tak terpancing murka oleh setiap pergunjingan para tetangganya. Karena, ia menetapkan lebih baik isi waktu dengan kesibukan yang ada. Kesibukan yang sejak ia dibebaskan dari penjara adalah membantu istrinya berjualan sayur mayur, dan menanam pohon-pohon tomat.
Pada waktu-waktu jeda membantu istrinya, ia rajin merawat pohon-pohon tomat, yang beberapa waktu lalu di tanamnya di petak pekarangan rumah samping gubuk tempat istrinya berjualan sayur mayur. Ia juga cermat memberi pupuk dan menghindarkan pencemaran tanah dari minyak, plastik dan deterjen.
Dari itu, pohon-pohon yang ia tanam dan rawat jadi tidak segan-segan hidup. Kemudian , berbuah, menor-menor. Ranum-ranum. Lantas sampailah buah-buah itu di panen, walau bukan panen raya. Yang penting, hasil panen itu bisa dinikmati sekeluarga serta dapat dibagi-bagikan kepada para tetangga. Alangkah berbahagianya manusia yang dapat memberi. Apa yang dicari dalam hidup ini? Ba-ha-gia.
Dengan bahagia itu pula ia membawa sekantong plastik kresek tomat-tomat segar itu untuk Rakilun, tetangganya yang teramat doyan mencemoohnya sebagai bromocorah, yang sudah lima hari ini kena serangan stroke.
“Lho, orang sakit stroke kok diberi tomat,” sambut istri rakilun yang seperti suaminya biasa berlidah pahit, setelah dia tahu isi plastik yang diterimanya.
“Semoga tomat-tomat itu mampu menjadi obat sakit Pak Kilun, karena kandungan antioksidan dalam tomat segar berfungsi sebagai anti platelet yang mampu menyumbat penggumpalan darah sampai 72 persen.”
“Tahu dari mana.”
“Dari penjara.”
“Yang benarlah, mas Kono,” ucap perempuan itu ketus kepada tetangganya yang duduk dekat dipan tempat Rakilun berbaring.”Coba aja pikir. Lha kadang orang di sekolah atau universitas saja bebal, apalagi di bui.”
“Selama di bui saya di ajari oleh Pak Parman bagaimana memanfaatkan waktu dengan kegiatan menanam dan merawat pohon-pohon tomat. Apa-apa yang menjadi khasiat tomat kerap dibeberkan oleh insyinyiur pertanian itu. Insinyiur baik hati ini di bui gara-gara fitnahan teman sekantornya.”
Kemudian ia mengalihkan pembicaraan kepada Rakilun yang berbaring di depan. Rakilun menangkap maksud perkataan lawan bicaranya, maka mantan mandor proyek Banjirkanal ini membalas dengan sorot mata gembira, berhubung lidahnya sudah kelu.
Lalu tetangga Rakilun yang baik hati itu menutup percakapan dengan harapan,” semoga lekas sembuh, Pak Rakilun.”
Ia pun berpamitan. Dan, hampir bersamaan, melangkah pula perempuan itu. Mengiringinya. Ketika sampai di serambi depan, perempuan itu menyampaikan ungkapan manis, “Terima kasih atas kunjungannya. Terima kasih pemberian tomat-tomat segar itu.”
Mendengar itu, ia susutkan langkahnya. Lalu menatap perempuan itu, yang tersenyum padanya. Terima kasih kembali, katanya. Sayangnya, itu ia perkatakan dalam hati. Tapi ia tersenyum. Setelah itu, ia pun berlalu.
Tak ada yang menggembirakan hatinya, selain berbuat kebajikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar